Daun Bambu selama ini belum termanfaat dengan baik oleh pelaku usaha batik sebagai bahan dasar pewarna alternatif. Hal tersebut dikarenakan proses dalam menghasilkan pewarna dari daun bambu membutuhkan proses yang relatif lama dimulai dari proses memotong-motong daun bambu menjadi kecil, ditumbuk menjadi halus baru direbus. Proses ini rata-rata memerlukan waktu 1 hari dalam proses pengerjaannya. Salah satu IKM batik yang mencoba menggunakan pewarnaan dari daun bambu tersebut dilakukan oleh IKM Ayu Arimbi yang berada di Dusun Plalangan, Desa Pandowoharjo Kabupaten Sleman. Pewarnaan dari bahan daun bambu sudah dilakukan oleh IKM batik Ayu Arimbi sejak tahun 2015. Akan tetapi proses tersebut selama ini belum dapat menghasilkan pewarnaan yang bagus dan lebih cenderung pudar. Tatik Susilowati selaku ketua IKM Ayu Arimbi mengatakan bahwa minat konsumen batik yang menghendaki pewarnaan dari daun bambu lumayan ada, dan kadangkala pemesanan tersebut ditolak karena proses produksinya yang relatif lama. Daun bambu sangat berlimpah di Dusun Plalangan akan tetapi belum termanfaatkan dengan baik karena keterbatasan teknologi. Melihat permasalahan tersebut Arif Hidayat selaku dosen jurusan Teknik Kimia Universitas Islam Indonesia melakukan pendampingan pengabdian masyarakat sebagai solusi mengatasi permasalahan mitra tersebut. Program pengabdian yang dilakukan tersebut adalah memberikan solusi kepada mitra dengan pengadaan teknologi tepat guna pengolahan daun bambu. Hal tersebut dapat menekan proses dalam pembuatan pewarnaan yang selama ini dilakukan secara manual dengan cara ditumbuk. Program pengabdian ini merupakan tindak lanjut dari hibah pengabdian desa mitra DPPM UII di tahun 2018 ini.
Produk Pengabdian
Pemanfaatan arang bambu selama ini belum termanfaatkan dengan baik pada IKM batik di Desa Pandowoharjo Sleman sebagai penanganan limbah hasil pewarna batik. Perajin selama ini membuang hasil limbah batik tersebut di area sungai yang mana kedepan dapat menimbulkan bahaya bagi lingkungan sekitar. Selama ini proses pembuangan limbah kimia hasil dari proses pewarnaan batik dilakukan secara manual dengan 2 cara yaitu yang pertama di masukkan ke dalam jerigen bekas dan ditaruh di sekitar rumah dan yang kedua dibuatkan lubang berukuran 1x1m di sekitar sungai. Perajin Batik mengalami keterbatasan dalam proses pengolahan limbah tersebut. Hal ini di karenakan keterbatasan faktor sumber daya manusia perajin yang sebagian besar merupakan ibuibu rumah tangga dan mempelajari batik secara otodidak. Permasalahan lainnya adalah perajin tidak memiliki kemampuan dalam mencari alternatif pengolahan limbah dengan cara pemanfaatan bambu yang selama ini sudah ada di sekitar pekarangan di Dusun Plalangan.Tatik selaku ketua IKM Ayu Arimbi mengatakan bahwa pengolahan limbah yang dilakukan selama ini memang di rasakan kurang baik dan dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan jika dibuang disekitar pekarangan rumah, hal tersebut akibat dari keterbatasan dana jika harus dibuatkan saluran pembuangan dengan skala besar, lanjut Tatik sebenarnya mitra sudah mengajukan proposal IPAL ke BLH kota Yogyakarta namun sampai saat ini belum ada jawaban kepastian untuk didanai. Sedangkan Feris Firdaus selaku dosen pendamping mengatakan bahwa program pengabdian yang dilaksanakan ini sebagai bentuk catur darma perguruan tinggi UII dalam mengatasi permasalahan mitra dalam hal pengolahan limbah sintetis hasil olahan batik. Keberadaan bambu yang belum termanfaatkan dan dirubah menjadi arang bambu dapat menjadi alternative dalam mengatasi permasalahan mitra tersebut, hal tersebut dikarenakan arang bambu dapat menyerap limbah lebih baik daripada bahan lainnya.